Sebuah Catatan Kecil Tentang Suku Makassar



Takunjunga' Bangunturu', Nakugunciri Gulingku, Kualleanna Tallanga Na Toalia [Tidak begitu saja aku ikut angin buritan, dan aku putar kemudiku, lebih baik aku pilih tenggelam dari pada balik haluan].

Le'ba Kusoronna Biseangku, Kucampa'na Sombalakku, Tamammelokka Punna Teai Labuang [Ketika perahuku kudorong, Ketika layarku kupasang, Aku takkan menggulungnya kalau bukan labuhan].

Demikian falsafah Hidup Orang Makassar. Dari falsafah ini sudah dapat dilihat betapa kehidupan orang-orang Makassar begitu dekat bahkan sangat dekat dengan yang namanya laut. Maka tak heran jika orang-orang Makassar dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung. 

Banyak bukti yang menunjukkan kepiawaian orang Makassar menguasai laut dengan layar sejak dahulu kala : Kisah Petualangan Karaeng Loe ri Se’ro di Tanah Jawa
Kisah Petualangan Karaeng Tunilabu ri Suriwa di Tanah SemenanjungKisah Petualangan Karaeng Tunipasuru keliling NusantaraKisah Petualangan Karaeng Tunijallo di Tanah MalakaKisah Petualangan Daeng Magappa di Negeri Johor; Kisah Petualangan Daeng Mangalle di Negeri SiamKisah Petualangan Karaeng Galesong di Tanah Jawa; dan lain-lainnya.


Bahwa orang-orang Makassar telah berdagang sampai ke Malaka, Jawa, Borneo, negeri Siam dan juga semua tempat yang terdapat antara Pahang dan Siam, Tome Pires.1


Kerajaan Gowa-Tallo

Kerajaan Gowa-Tallo atau juga dikenal dengan sebutan Kerajaan Makasar adalah sebuah kerajaan maritim yang terletak di Sulawesi Selatan, Indonesia. Mencapai puncak kejayaannya pada pertengahan abad ke-17, menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara bagian timur, meliputi : seluruh Sulawesi, pulau Sangir, Talaud, Pegu, pulau-pulau Mindanao di bagian utara; Pulau Sula, Dobo, Buru, Kepulauan Aru [Maluku] di sebelah timur; Marege [Australia Utara]-pulau Timor, Sumba, Sumbawa, Lombok di sebelah selatan; Negeri Kutai dan Pasir di sebelah Barat.




Kebesaran Kerajaan Gowa dahulu kala karena didukung oleh armada lautnya yang banyak dan tangguh. Selain perahu layar jenis phinisi, kerajaan Gowa pernah memiliki beberapa buah perahu jenis Galle (Galley), yang mempunyai desain cantik dan menawan yang dikagumi pelaut-pelaut Eropa, seperti iGalle iNyannyik Sangguk yang pernah ditumpangi oleh Baginda Sultan Muhammad Said dalam pelayarannya ke tanah Walinrang. Perahu Galle kerajaan Gowa dahulu, konstruksinya bertingkat dengan panjang mencapai 40 meter dan lebar 6 meter. Tiang layar besar dilengkapi pendayung 200 hingga 400 orang. Setiap perahu Galle diberi nama tersendiri seperti iGalle Dondona Ralle Campaga panjang 25 depa [kurang lebih 35 m], iGalle I Nyannyik Sangguk dan iGalle Mangking Naiya, panjang 15 depa [kurang lebih 27 m], iGalle KalabiuiGalle GalelanganiGalle Barang MamaseiGalle Siga, dan iGalle Uwanngang dengan panjang masing-masing 13 depa atau sekitar 23 meter. Disamping itu terdapat pula jenis-jenis perahu yang dibuat untuk kepentingan tertentu, seperti jenis perahu Binta untuk penyergapan, perahu Palari sebagai alat pengontrol wilayah kekuasaan di perairan dan pesisir pantai, perahu Padewakang untuk kepentingan dagang, perahu Banawa untuk mengangkut binatang ternak, perahu Palimbang khusus angkutan penumpang antarpulau, perahu Pajala bagi nelayan penangkap ikan, perahu Birowang dan perahu Bilolang untuk mengangkut penumpang jarak dekat.
Dengan ini, maka tak heran jika wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo dapat meliputi sebagian besar kepulauan Nusantara. 

Dengan bermunculnya kapal-kapal bangsa Eropah di perairan Nusantara, dengan tujuan untuk perdagangan rempah-rempah, maka mau tak mau terjadi persaingan diantara mereka, tak terkecuali dengan orang-orang Makassar [Kerajaan Gowa-Tallo].

Oleh Kompeni Belanda orang-orang Makassar merupakan saingan yang berat baginya. Terlebih-lebih sesudah orang-orang Belanda selesai mengadakan perhitungan dengan orang-orang Spanyol dan Portugis di Maluku, ternyata pelabuhan Makassar selalu terbuka bagi bangsa-bangsa ini untuk datang berdagang dan membeli rempah-rempah lebih murah di Makassar dari pada di daerah Maluku sendiri.3

Dalam tahun 1607 setibanya Cornelis Matelief di Ambon, Dia mengirim utusan ke Makassar untuk menyampaikan surat kepada Raja Gowa supaya Raja Gowa jangan mengirim beras ke Malaka dan membuka pelabuhannya untuk kapal-kapal Belanda.Permintaan itu tiada di pedulikan Gowa. Dengan sendirinya merenggangkan hubungan baik diantara keduanya, terutama seketika Belanda telah mulai berhasil memperoleh monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Pedagang-pedagang Eropah lainnya dengan sendirinya memindahkan pusat kegiatannya ke Makassar. Disamping untuk menjual barang dagangan yang dibawanya, juga yang terpenting ialah untuk membeli barang-barang dagangan yang diperlukan, terutama rempah-rempah, kayu cendana dan kayu  sapan.

Dengan sendirinya sikap menjauhi dari pihak Kompeni Belanda (VOC) mulai nampak. Dalam tahun 1615 Jan Pieterszoon Coen sebagai Direktur Jenderal atas perdagangan Kompeni di Indonesia mempertimbangkan penghapusan kantor di makassar, yang berarti putusnya hubungan baik dengan daerah itu. Tetapi sebelum hal ini merupakan suatu ketetapan, wakil dagang Belanda di Makassar Abraham Sterck atas kuasanya telah meninggalkan kantornya dan memindahkan seluruh inventarisnya ke kapal "Engkhuysen" yang sedang berlabuh di pelabuhan dan berniat berangkat pamit. Akan tetapi masih terdapat piutangnya sama Raja. Oleh sebab itu atas anjurannya, maka kapitan kapal mengundang sejumlah pembesar-pembesar Makassar untuk datang melihat-lihat kapalnya. Setelah pembesar-pembesar itu berada di atas kapal, maka di suruh serangnya untuk melucuti senjata-senjatanya, karena hendak dijadikan sebagai sandra (gijselaar).5



Armada VOC Thn. 1653, di sebelah kiri Maeght van Engkhuysen

Perkelahian pun terjadilah di kapal itu pada tanggal 25 April 1615, menyebabkan kedua belah pihak menderita kerugian. Orang-orang Makassar yang datang itu kebanyakannya tewas, terkecuali dua orang, yakni Ince Husain (Syahbandar) dan Karaengta ri Kotengan (salah seorang keluarga raja) terutama dan dibawa ke Banten. Dengan sendirinya ketegangan-ketegangan pun mulailah terjadi, tetapi belumlah secara besar-besaran. Sultan Alauddin sangat gusar sekali, tetapi masih dapat menahan diri menunggu sampai kedua pembesar itu dikembalikan dengan selamat oleh Belanda. Beberapa buah kapal Belanda yang masih singgah di Makassar masih diterimanya dengan baik. Tetapi setelah kedua pembesar itu tiba di Makassar dalam tahun 1616, barulah Raja melampiaskan pembalasan dendamnya.6

Pada tanggal 10 Desember 1616, sebuah kapal Belanda yang bernama "De Eendracht" bersama 15 awak kapalnya turun di bandar Somba Opu memperlihatkan tingkah laku yang congkak, mengakibatkan meluapnya kemarahan rakyat Gowa. Sehubungan dengan kejadian tahun sebelumnya dikapal "Engkhuysen", mereka pun menjadi mangsa orang-orang Makassar. Atas serangan itu mengakibatkan terbunuhnya semua orang Belanda. Mulai pada waktu itu terjadilah perang antara Kompeni dengan Makassar yang berlangsung selama bertahun-tahun lamanyahingga diadakannya Perjanjian Bungaya.


Perjanjian Bungaya dilaksanakan, banyak orang-orang Makassar yang tidak mau menerima Perjanjian itu karena tidak senang dengan kehadiran Belanda di Makassar. Beberapa tokoh sentral Gowa yang menolak seperti Karaeng Galesong hijrah ke Tanah Jawa. Bersama pengikutnya, mereka memerangi setiap kapal Belanda yang mereka temui. Oleh karena itu, Belanda yang saat itu dibawah pimpinan Spellman menjulukinya dengan "Si-Bajak-Laut".8 Mereka menjadi Bajak Laut bagi Belanda [VOC] beserta koloni-koloninya yang merupakan musuh-musuh mereka, sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap ketidakadilan. Mereka berjuang untuk kemerdekaan dan kesejahteraan mereka. @dp


Catatan kaki :
*1)  Tome Pires, The Suma Oriental
*2)  Mahaji Noesa, A.Hamzah Tuppu Patriot Bahari Titisan Galesong, Makassar, 2002
*3)  F.W. Stapel, Bongais Verdrag, J.B. Wolters, Gronigen, 1922. h.9.
*4) B. Erkelens. Geschiedenis van het rijk Gowa, Verhandelignen van het Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Deel L. Batavia, 1897, h.83: Francois Valentyn, Out-en Nieuw Indien, derde deels tweede stuk, 1726, h.143-144.
*5) F.W. Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, deel III, Joost van den Vondel, amsterdam, 1939, h.193.
*6) H.D. Mangemba, Perebutan Supremasi Kekuasaan di Indonesia Timur Dalam Abad XVII
*7) H.D. Mangemba, Perebutan Supremasi Kekuasaan di Indonesia Timur Dalam Abad XVII
*8) Mahatir Mahbub, Bajak Laut Yang Menolak Perjanjian Bungaya, Makassar, 2009

Terima Kasih sudah membaca, jika artikel ini bermanfaat, silahkan di Share ke orang-orang terdekat. Like juga Fanpage kami untuk mengetahui informasi lainnya @makassarpunyacerita 


Video Pilihan



Comments

  1. Sayang tidak disertai poto benda-benda bersejarah

    ReplyDelete
    Replies
    1. siapa tau saudara punya stock foto...#dengan senang hati.

      Delete
  2. Mantappp luar biasa syangnya kuran poto poto peninggalan ingi sekali rasanya sekalipu cuma melitat rasanya suda nikmat seakan hidup di zaman itu semoga pahlawan2 kerajaan gowa selamat diakhirat alfatiha amin...

    ReplyDelete
  3. Informasi yg sangat bermanfaat bagi generasi yg akan datang.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Lirik dan Terjemahan Lagu Tea Tonja

Lirik dan Terjemahan Lagu Julei ri Kau

LIRIK DAN TERJEMAHAN LAGU PANGNGUKRANGI