Peran Orang Jawa, Melayu, Aceh dan Arab dalam Islamisasi Kerajaan Gowa


Peran Orang Jawa, Melayu, Aceh dan Arab dalam Islamisasi Kerajaan Gowa
Oleh : Daeng Palallo

Artikel ini berupaya menjelaskan peran orang Jawa, Melayu, Aceh dan Arab dalam proses Islamisasi Kerajaan Gowa secara menyeluruh. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.  

Orang Jawa di Makassar

Tak dapat di pungkiri bahwa orang-orang Jawa mempunyai peran penting dalam Islamisasi Kerajaan Gowa. Dapat dipastikan bahwa di sekitar muara Sungai Jeqneberang, terdapat koloni (daerah permukiman) yang disebut Garassi. Gresik menurut intonasi Makassar menjadi Garassi. Gresik di Jawa adalah pusat syiar Islam sejak jaman Majapahit, di sini tinggal Maulana Malik Ibrahim, seorang Arab yang juga dikenal dengan nama Sunan Gresik. Koloni orang Jawa lainnya terdapat di Sorobaya, yakni sebuah kampung di selatan Makassar (Sombaopu), saat ini masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Bontonompo Selatan, Kabupaten Gowa.  Sorobaya sudah tentu yang dimaksud adalah Surabaya. Disini tinggal murid Maulana Malik Ibrahim yang berdarah bangsawan Majapahit yaitu Raden Rahmat, yang juga dikenal dengan nama Sunan Ampel. Gresik dan Surabaya yang terletak berdampingan dan merupakan bandar pelabuhan, pada masa itu menjadi pusat syiar Islam di Nusantara. Koloni lain adalah Jipang, masih di wilayah Kecamatan Bontonompo Selatan, Kabupaten Gowa. Jipang di Jawa adalah kota yang dapat disetarakan dengan Demak (1475-1546). Penguasa Jipang adalah penantang yang memberontak pada Sultan Trenggono, Sultan Demak terakhir. Koloni lainnya adalah Tuban, tentu ini menunjuk ke Tuban di Jawa Timur. Walaupun Tuban di Sulawesi sekarang ini sudah tidak wujud, namun dahulu kala daerah ini terdapat di utara Makassar. Satu tempat lainnya adalah Manjapai. Tentu saja yang dimaksud adalah Kerajaan Majapahit. Mungkin yang terakhir ini tak ada hubungannya dengan syiar islam, oleh karena Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu, namun ini cukup untuk menjadi bukti akan keberadaan orang-orang Jawa di Sulawesi sejak jaman Majapahit. Manjapai sendiri saat ini masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Bontonompo Selatan, Kabupaten Gowa. 

Tidak di ketahui secara pasti sejak kapan daerah-daerah ini terbentuk, namun dalam kronik Gowa menyebutkan bahwa dimasa Karaeng Tumapaqrisik Kallongna (1510-1547), ada orang Jawa datang, dipimpin oleh seorang yang bernama iGalasi, ketika itu mereka dikatakan berperang di satu tempat yang disebut Pammolikang[1]. Pammolikang dalam bahasa Makassar berarti tempat penyimpanan. 

Orang Melayu di Makassar

Bahwa setelah kejatuhan Malaka pada tahun 1511, Makassar berubah menjadi pelabuhan penting di Nusantara. Para pedagang yang sebelumnya tinggal di Malaka berangsur-angsur pindah ke Makassar. Kehadiran orang-orang Melayu di Makassar merupakan awal perkembangan peradaban. Mereka berperan penting dalam pembangunan ekonomi, politik dan keagamaan. Dalam syiar Islam, orang melayu sangat berperan dalam pengislaman Kerajaan Gowa maupun dalam Islamisasi yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa.


Pada masa Karaeng Tunipalangga memerintah (1546-1565), seorang utusan Melayu bernama Nahkoda Bonang datang menghadap kepada Raja Gowa untuk kiranya diberi izin menetap di Makassar[2]. Permohonan tersebut di setujui oleh Raja. Mereka kemudian tinggal di sebuah daerah yang disebut Mangallekana (Mangallekana dalam bahasa Makassar bermakna meminta izin). 

Adapun orang-orang Melayu yang dimaksud adalah orang-orang Pahang, orang-orang Patani, orang-orang Campa, orang-orang Minangkabau dan orang-orang Johor. 

Ketika itu Nahkoda Bonang mempersembahkan sepucuk senapan (kamaleti?); delapan puluh junjungan; sekayu sekelat (sakalaq); sekayu beludru (biluqluq); dan setengah kodi cindai (cindeilau); Berkata Nahkoda Bonang kepada Raja :


'Ada empat hal yang saya minta dari Tuanku. "Berkatalah Raja, 'Apa?' Dia berkata, kami meminta untuk tidak dimasuki pekarangan kami, tidak dinaiki rumah kami, tidak di tuntut pembayaran, jika ada anak-anak kami, tidak menyita barang-barang kami jika ada di antara kami melakukan kejahatan.


"Hal ini disetujui oleh Raja. Raja selanjutnya mengatakan :

'Sedangkan kerbau saya saja jika sudah lelah, saya akan istirahatkan di air. Jika beban itu berat, saya akan meletakkannya sebagian. Apalagi engkau sesamaku manusia.


'Kemudian Raja berkata kepada Nahkoda Bonang :

Akan tetapi janganlah engkau melakukan pembunuhan di dalam Kerajaanku di luar sepengetahuanKu”. Lanjut Raja bertanya lagi : Untuk siapa anda berbicara ini ?

Berkata Nahkoda Bonang kepada Raja :

'Semua dari kami yang bersarung ikat. Yaitu, Orang-orang Pahang, orang-orang Patani, orang-orang Campa, orang-orang Minangkabau, orang-orang Johor.


Nahkoda Bonang sendiri kemungkinan besar adalah orang Jawa. Boleh jadi Sunan Bonang yang dikenal oleh orang Jawa sebagai Walisongo[3]. Karena apabila diklarifikasi dengan sumber-sumber tradisional Jawa, Sunan Bonang adalah saudagar barang-barang perhiasan dari emas[4].

Sunan Bonang atau Maulana Makdum Ibrahim adalah anak dari Sunan Ampel, lahir pada tahun 1465. Sunan Bonang, setelah dewasa, ia banyak berdakwah di wilayah Tuban, Jawa Timur. Maka di utara Makassar, juga terdapat sebuah daerah yang bernama Tuban/ Tubon.


Peta Indonesia, Publikasi Thn. 1662

Di Mangallekana orang-orang Melayu muslim terus bertambah, mereka hidup sebagai pedagang dan saudagar. Mereka dilindungi Raja karena merupakan penyumbang pendapatan kerajaan yang utama.

Pada masa pemerintahan Karaeng Tunijallo (1565-1590), Raja membangun sebuah mesjid di Mangalekana, tempat dimana orang-orang muslim Melayu ini tinggal. Selain itu, ia juga memerintahkan orang-orang untuk naik haji[5]Kemungkinan besar Raja ini sudah masuk Islam, namun belum menjadikan agama Islam sebagai agama resmi kerajaan.

Kemajuan pesat Makassar, terkait dengan kemunduran terus menerus perdagangan Jawa ke Maluku sejak runtuhnya Majapahit, jatuhnya Malaka dan akhirnya Demakmemberi kesempatan Makassar terus berkembang[6]Pada masa itu kerajaan Demak dan Pajang  di Jawa telah runtuh sehingga Jawa berkembang menjadi negara agraris. Panembahan Senopati mendirikan Mataram di tenggara Yogyakarta [7].

Orang-orang melayu sebagai saudagar itu berperan besar atas kemajuan Makassar. Aktivitas keagamaan orang-orang Melayu di Mangallekana, sudah barang tentu menarik perhatian penguasa Makassar pada masa itu.

Karaeng Tunijallo meninggal, Karaeng Tunipasulu menggantikannya sebagai Raja Gowa. Dimasa pemerintahan Karaeng Tunipasulu inilah orang-orang Jawa, orang-orang Melayu, orang-orang Eropa yang berprofesi sebagai pedagang atau sebagai saudagar semuanya meninggalkan Makassar[8]. Makassar pada masa ini mengalami kemunduran, walaupun kenyataannya Raja ini dapat menaklukkan beberapa daerah/ memperluas wilayah. Namun dalam bidang ekonomi, kerajaan Gowa mengalami penurunan yang sangat drastis. Oleh karena itu, Raja ini pun di keluarkan/ di lengserkan dari tahtanya sebagai Raja Gowa (Tunipasulu = orang yang di keluarkan) setelah 3 tahun lamanya berkuasa.

Karaeng Tunipasulu di keluarkan, adiknya yang bernama iDaeng Manraqbiya, dilantik menjadi Raja Gowa. Beliaulah yang kemudian hari di gelar Sultan Alauddin.

Karena usianya yang masih sangat belia pada saat itu, maka tugas-tugas pemerintahan dipercayakan kepada Karaeng Matoaya, yang pada saat bersamaan di lantik menjadi Raja Tallo.

Dimasa Karaeng Matoaya (1593-1636) inilah Makassar kembali ramai, para pedagang yang tadinya meninggalkan Makassar, kembali lagi ke Makassar.

Sampai disini Karaeng Matoaya belum memutuskan untuk menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan. Dalam menjalankan kebijakan beliau masih melihat dan menunggu preferensi dari kedua agama besar yang ada, yakni Islam dan Kristen.

Perlu dikemukakan bahwa Makassar pada masa itu adalah bandar niaga internasional. Seluruh bangsa-bangsa hadir di Makassar. Bangsa-bangsa yang di negerinya saling berperang,  ketika di Makassar dipaksa  berdamaioleh karena itu di Somba Opu dapat ditemukan tempat tinggal orang-orang Melayu, juga loji Inggris, Portugis, Belanda, Perancis, dan  Denmark, yang kebanyakan dari mereka saling bermusuhan, meskipun sama-sama Nasrani. Demikian juga orang-orang Melayu  termasuk orang Jawa semakin banyak datang di Makassar[9]. Berbagai peradaban dan agama mempengaruhi masyarakat Makassar,  termasuk juga agama Kristen. Dapat dimengerti pada saat ini Karaeng Matoaya berada dalam posisi sulit untuk menentukan agama mana yang paling tepat untuknya.

Aceh sebagai salah satu Benteng Islam di Nusantara

Setelah Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang runtuh akibat pemberontakan, muncullah Kesultanan Banten di Jawa bagian barat dan Kesulatan Aceh di ujung utara pulau Sumatra sebagai benteng-benteng Islam di Nusantara.

Pada awal atau pertengahan abad ke-16 kesultanan Aceh mulai menguat. Acehsebagai kerajaan Islam bermusuhan dengan Portugis, yang beragama Kristen. Dalam rangka menghadapi Portugis, Aceh menjalin persekutuan militer dengan Dinasti Ustmani, Kesultanan Turki. Mendez Pinto, seorang pengembara Portugis melaporkan bahwa Sultan Alauddin Riayat Syah telah minta bantuan menjalin hubungan persekutuan dengan Sultan Turki, Sulaiman melalui Pasha Mesir sehingga mendapat bantuan 150 tentara Turki dan sejumlah orang Abessinia (Ethiopia) dan Gujarat serta 200 tentara sewaan dari Malabar. Mereka ini adalah pasukan elit kesultanan Aceh. Jorge de Lemos, Sekretaris Raja Muda Portugis melaporkan bahwa Khalifah Utsmani mengirimkan bintang kehormatan kepada Sultan Alauddin Riayat Syah (1588-1604) dan memberi izin kepada kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Turki[10].

Dalam situasi seperti ini, maka Karaeng Matoaya meminta pada Gubernur Portugis di Malaka untuk mengirimkan pendakwah (pastor), dan kepada Sultan Aceh untuk mengirimkan Ulamanya ke Makassar[11]. Namun ternyata yang datang adalah seorang Muslim dari Johor; datang sebagai utusan (rekomendasi) Sultan Aceh; bernama Abdul Makmur Khatib Tunggal; seorang ulama yang berasal dari Koto Tangahmemiliki kerabat dengan Sunan-Sunan Giri[12].

img_pintasilmu.com

Akhirnya pada malam Jum'at, 9 Jumadil Awal 1014 H bertepatan dengan 22 September 1605 M, Raja Gowa-Tallo memutuskan untuk menjadikan Islam sebagai agamanya. Yang mengislamkannya adalah Khatib Tunggal. Raja Tallo yang bernama I Mallingkaang Daeng Mannyonriq Karaeng Matoaya setelah di islamkan bergelar Sultan Abdullah Awawul Islam[13], sedangkan Raja Gowa iDaeng Manraqbiya di gelar Sultan Alauddin[14]. Gelar yang sama dengan gelar Sultan Aceh (Sultan Alauddin Riayat Syah) diberikan kepadanya sebagai tanda akan hubungan baik (persaudaraan) antara kedua kerajaan.

Giri sebagai pusat syiar Agama Islam di Nusantara

Menurut sumber Jawa, Khatib Tunggal adalah juga merupakan murid dari pesantren Giri[15]. Sesudah kesultanan Demak dan Pajang runtuh, pesantren Giri menjadi pusat syiar agama Islam, tidak hanya di Jawa tetapi juga di Nusantara. Sudah tentu penghormatan kepada Khatib Tunggal terkait karena kedudukannya sebagai bagian/utusan dari pesantren Giri (Bambang S : 2013).

Oleh karenanya Khatib Tunggal bukan hanya terlibat dalam berbagai dakwah Islam di Jawatetapi juga di  Aceh, Johor dan Palembang[16].

Selama di Makassar, Khatib Tunggal tidak hanya mengislamkan Raja Tallo dan Raja Gowa, tetapi juga Raja Kutai di Kalimantan Timur[17].

Pada masa ini pula diperkirakan dua ulama lainnya yakni : Datuk Sulaiman atau Khatib Sulung dan Abdul Jawab yang di gelar Khatib Bungsu datang di Sulawesi. Datuk Sulaiman digelar Khatib Sulung karena ialah yang tua diantara keduanya. Sebaliknya, Abdul Jawab disebut Khatib Bungsu karena ialah yang lebih muda. Selain gelar tersebut, Datuk Sulaiman juga dikenal dengan nama Datuk ri Patimang karena ia menetap dan meninggal di sebuah daerah yang disebut Patimang. Sedangkan Abdul Jawab, selain di kenal sebagai Khatib Bungsu, ia juga di kenal dengan nama Datuk ri Tiro, karena ia menetap dan meninggal di sebuah daerah yang disebut Tiro.

Khatib Tunggal oleh orang Makassar lebih dikenal dengan nama Datuk Ri Bandang. Disebut Khatib Tunggal karena ia merupakan pendakwah tunggal yang datang ke Makassar. Disebut Datuk ri Bandang karena ia bermukim di sebuah kampung, di tengah-tengah areal persawahan[18]. Datuk ri Bandang sejak kedatangannya pada awal abad ke-17 hingga meninggalnya menetap di Makassar. Datuk ri Bandang di makamkan di wilayah Tallo, Makassar.

Islamisasi Kerajaan Gowa

Karaeng Matoaya memeluk agama islam, ia di gelar Sultan Abdullah Awawul Islam. Oleh karena ia raja yang pertama yang mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelahnya di ikuti oleh Raja Gowa yang di gelar Sultan Alauddin. Kedua Raja inilah yang mengislamkan hampir seluruh kerajaan yang ada di Nusantara bagian timur.

Dikatakan bahwa hanya dua tahun setelah Karaeng Matoaya mengucapkan Syahadat, maka seluruh rakyat Gowa dan Tallo pun sudah selesai di Islamkan, yang ditandai dengan diadakannya sembahyang Jumat pertama di Tallo pada tanggal 9 November 1607 (19 Rajab 1016). Selanjutnya Raja Gowa-Tallo melakukan islamisasi terhadap daerah-daerah lainnya di Sulawesi maupun di luar Sulawesi Bulukumba, Bilusu, Sidenreng, Bilawa, Lamuru, Mario Irawa, Pattojo, Soppeng, Wajo, Bone, Tempe, Bulu Cenrana, Bilokka, Lemo, Campaga, Pationgi, Pekang Lakbu, Bima, Dompu, Sumbawa, Kengkelu, Papekat, Sanggar, Buton, tanaPancana, Wawonio, Tubungku, Banggae, Sula, Tual, Buol, Gorongtalo, Larompong, Topelekleng, Tobong, Maros, Kaluku, satu persatu ditaklukkan selanjutnya di masukkan dalam Islam termasuk beberapa kerajaan yang datang langsung menghadap kepada Raja Gowa-Tallo, yakni : negeri Selaparangnegeri Paser, negeri Barowa? dan negeri Kutai, sebagaimana di kisahkan dalam Lontara Patturioloanga ri Tallo (Catatan resmi Kerajaan Tallo).

.... iyaminne Karaenga ambetai Bulukumba pinruang; ambetai Bilusu; ampasombai Sidenreng; ampasombai Bilawa; sipue; ampasombai Lamuru; ampasombai Mario iwara; ampasombai Pattojo; ampasombai tuSoppenga; sipaliliq; ampasombai tuWajoka; sipaliliq; ambetai Bone; tunabetaya; iyangaseng napantama Isilangtumangnyombaya napantamai Isilang; tunabetaya napalilikangi; tumanyombaya napalilikangi; ammaradekangi Tempe sipue; Bulu cenrana; Wawoniyo; Bilokka; Lemo; Campaga; Pationgi; Pekang Laqbu; iatompa anne karaenga ambetai Dima pintallung; ambetai Dompu; ambetai Sambawa pinruang; ambetai Kengkelu; Papekang; ampalilikangi Sanggara; ampasombai Butunga; ambetai tanaPancana; Wawoniyo; ambetai Tubungku; Banggea; Sula; iatallu; ambetai Taulada; Buwolo; Golongtalo; ambetai Larompong; ambetai Topelekleng; pinruang; ampasombai Tobong; ambetai Marusuq; ampasombai I Daeng Marewa ri Kaluku; iyatompa anne karaeng; namataqgala ri katte Salaparanga ri Bali; Pasereka; Barowa; Kutea; 

....inilah Karaeng/Raja yang mengalahkan Bulukumba dua kali,  yang mengalahkan Bilusu, yang menundukkan Sidenreng; yang menundukkan Bilawa; sebagian; yang menundukkan Lamuru, yang menundukkan Mario Irawa; yang menundukkan Pattojo; yang menundukkan rakyat Soppeng; dan pengikut mereka;  yang menundukkan orang-orang Wajo; dan pengikut mereka;  yang mengalahkan Bone; orang-orang yang dikalahkannya; di masukkannya semua dalam Islam; orang-orang yang ditundukkannya; di masukkannya semua dalam Islam;orang-orang yang dikalahkannya; dijadikannya semua sebagai pengikut; orang-orang yang tunduk; dijadikannya semua sebagai pengikut; yang memerdekakan Tempe sebahagian; Buluq Cenrana; Wawonio; Bilokka; Lemo; Campaga; Pationgi; Pekang Laqbu; karaeng inilah pula yang mengalahkan Bima tiga kali; yang mengalahkan Dompu; yang mengalahkan Sumbawa dua kali; menjadikan Sanggar sebagai pengikut, mengalahkan Kenkelu, mengalahkan Papekat; mengalahkan Buton, mengalahkan tanah Pancana, Wawonio, mengalahkan Tubungku; Banggea; Sula; bertiga; yang mengalahkan Tual; Buol; Gorongtalo; yang mengalahkan Larompong; yang mengalahkan Topeleqleng; dua kali; menundukkan Tobong; yang mengalahkan Maros; yang menundukkan I Daeng Marewa di Kaluku; baru dimasa Karaeng ini pulalah, baru orang Selaparang di Bali, negeri Pasir, negeri Kutai menjadi bagian dari kerajaan Gowa-Tallo;

Masuknya kerajaan Gowa-Tallo pada agama Islam, telah menempatkan Makassar sebagai salah satu jaringan ekonomi dan politik Muslim. Kerajaan Gowa-Tallo menjadi salah satu mata rantai kekuatan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.

Dukungan Muslim Melayu atas raja Gowa-Tallo yang pada mulanya hanya terbatas dalam bidang ekonomi atau perdagangan, berkembang menjadi solidaritas agama.

Peranan Gowa sebagai salah satu pemimpin Islam di Nusantara terus diperkokoh dengan datangnya para ulama-ulama lainnya termasuk para sayyid (keturunan Nabi Muhammad SAW) secara bertahap, bahkan setelah Perang Makassar terjadi. Kehadiran Sayyid Jalaluddin Al Aidid di Gowa pada sekitar tahun 1640an sebagai bentuk kerjasama (persaudaraan) antara Kesultanan Aceh dengan Kesultanan Gowa. Sayyid Husain datang pada tahun 1683, Syech Umar Bamahsuna Rahmatullah datang pada tahun 1684, Syech Abdullah Qusyasyi dari Madina datang pada tahun 1691. Pada tahun 1727, datang lagi seorang ahlul Bait Nabi dari Yaman bernama Abu Bakar Ibnu Muhammad Syaibi bersama keluarga dan pengikutnya. Para ulama dan para sayyid ini, termasuk keturunannya dalam Lontara Bilang Gowa-Tallo banyak tercatat menikah dengan bangsawan setempat.

Demikian, hingga pertengahan abad ke-18, peran Gowa sebagai pemimpin Islam di Nusantara bagian Timur tak tergantikan oleh kerajaan lainnya.

Kesimpulan

Untuk memahami Islamisasi di Nusantara khususnya di Kerajaan Gowa, tidak cukup tuntas hanya dengan mengkaji kondisi lokal, sebab pada masanya Islam telah berkembang di seluruh dunia; dari Timur Tengah, ke Eropa, ke Asia, termasuk ke NusantaraHal mana, terjadi karena hubungan-hubungan pelayaran niaga yang telah bersifat global pada masa itu. Wilayah kekuasaan khalifaIslam pada masa itu telah melawati batas-batas bangsa bahkan benua. Islam di terima oleh Kerajaan Gowa sudah barang tentu adalah merupakan hidayah dari Allah SWT kepada Karaeng Matoaya, namun juga tidak terlepas dari prestasi-prestasi yang telah diraih oleh kaum Muslimin secara global, seperti Dinasti Mammluk di MesirDinasti Ustmani di Turki. Selain itu tidak dapat dilupakan runtuhnya kerajaan Majapahit oleh serangan kaum Muslimin, sebagai bukti kebenaran Islam atas Hindu. @dp 

Penulis : Daeng Palallo

Catatan Kaki :

[1] Lontara Patturioloang Gowa : iyatong anne nabattui Jawa nikanaya iGalasi; namabunduk ri Pammolikang.
[2]  Lontara Patturioloang Gowa : iyatommi napappalaki empoang jawa nikanaya Anakoda Bonang.
[3] S.Bambang, (Unhas, 2013) : Anakhoda adalah nakoda atau pengemudi kapal. Jadi sebutan sebagai anak atau awak yang mengemudikan kapal. Apabila diklarifikasi dengan sumber-sumber tradisional Jawa, dapat disimpulkan bahwa Nakhoda Bonang, seorang ulama dari Jawa.
[4] Dalam babad dikisahkan bahwa Sunan Bonang adalah  saudagar barang-barang perhiasan dari emas. Ketika dalam perjalanan melintas hutan dirampok oleh  bandit yang bernama Jaka Sahid. Dengan wibawanya Sunan Bonang sambil menyerahkan dagangannya menjelaskan bahwa barang-barang yang dibawanya tidak ada harganya. Namun ajaib ketika Sunan Bonang pergi barang-barang itu berubah menjadi batu.
[5] Lontara Patturioloang Gowa : iyapa anne karaeng; ampammangungangi masigiq padangganga ri Mangngallekana; assuroi manai ajji.
[6] Laporan Schuurmacher dan Wessels dalam Anthony Reid, Op. cit. , p. 176.
[7] Mataram baru bangkit kembali sebagai kerajaan maritim pada masa Sultan Agung (1613-1646). Lihat Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta; LP3ES, 2004,  p. 112.
[8] Lontara Patturioloang Gowa : anne karaenga nanipasuluq; manna taena salana tauwa; tiqring nibunoji; maqlampami Jawaya; malaringasemmi anaq karaenga.
[9] Namun sampai bulan  September 1603 Wybrandt dan Waerwijk 26.
[10]  Azzumardi, op. cit., p. 42-43 dan p. 49.
[11]  Anthony Reid, op. cit., p. 398.
[12] S.Bambang, (Unhas, 2013) : Khatib Tunggal, yang nama lainnya adalah Abdul Makmur Chatib Tunggal  adalah ulama kelahiran dari Koto Tangah, Sumatra Barat, memiliki kerabat dengan Sunan Giri.
[13] Lontara Patturioloang Tallo : ...namantama Isilang  Karaenga; rua assaribattang; areng Araqna nikana Soltani Abdullah Awawul Islam.
[14] Lontara Patturioloang Gowa : I Daeng Manraqbiya; areng ngaraqna nikana Solotan Alauddin “Sultan Alauddin”.
[15] De Graaf “De Regering van Panembahan Ingalaga Senapati”, VKI 1954 p. 61. Dato ri Bandang juga mengislamkan Kutai Kertanegara.
[16] Noordyin, op. cit., p .33.
[17] Risalah Kutai
[18] Lontara Patturioloang Gowa : katte tunggalaq areng kalengnaammempoi ri yappaqna pammatowang; ri tananaya; nanikanamo iDatoq ri Bandang.

Terima Kasih sudah membaca, jika artikel ini bermanfaat, silahkan di Share ke orang-orang terdekat. Like juga Fanpage kami untuk mengetahui informasi lainnya @makassarpunyacerita 



Video Pilihan 


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Lirik dan Terjemahan Lagu Tea Tonja

Lirik dan Terjemahan Lagu Julei ri Kau

LIRIK DAN TERJEMAHAN LAGU PANGNGUKRANGI