Konflik antar Elite Politik Lokal di Sulawesi Selatan Dalam Abad XVII-XVIII : Sebuah Perspektif Sejarah



Di Sulawesi Selatan pernah mengalami kehidupan sosial yang kacau balau. Setiap individu atau kelompok dalam satu wilayah bersaing satu sama lainnya. Di tanah Makassar misalnya, sebelum adanya Tumanurunga di Gowa1, komunitas-komunitas yang ada saling menyerang satu sama lain. Masa ini di sebut dengan istilah Sikanre Juku (Makassar), atau Sianre Bale (Bugis). Masa, dimana tidak ada pemimpin yang di dengar perkataannya atau perintahnya. Dikatakan, pada masa itu konflik berlangsung terus-menerus, oleh sebab itu orang-orang Gowa bersedih hati karena tidak adanya pemimpinnya, dan juga mereka tidak mau mengangkat salah satu diantara mereka menjadi pemimpinnya, sementara mereka senantiasa mendapat serangan dari tiga komunitas lainnya yakni : Lambengi, Garassi dan Untiya. Untuk itu bersepakatlah diantara mereka untuk mencari seseorang yang bisa dijadikan oleh mereka sebagai pemimpin. Maka pada suatu hari terdengarlah kabar akan adanya seseorang yang di sebut Tumanurung2, maka bersepakatlah mereka untuk mengambil Tumanurunga itu sebagai Raja-nya. Sejak saat itulah katanya Gowa tak terkalahkan, demikian orang-orang pun datang untuk menyembah kepada Raja Gowa.

Memasuki abad ke-15, wilayah ini di warnai dengan konflik antar negeri/ kerajaan, muncul persaingan demi memperebutkan hegemoni kekuasaan. Situasi ini berlangsung hingga pertengahan abad ke-17.

Konflik Antar Elite Politik Lokal di Sulawesi Selatan Dalam Abad XVII-XVIII

Pada pertengahan abad ke-17, Sulawesi Selatan diwarnai dengan konflik antar dua elite utama, yakni Sultan Hasanuddin dengan Arung Palakka.

Konflik keduanya bermula tatkala VOC Belanda menyerang dan akhirnya menguasai Benteng Panakkukang3 dalam tahun 1660. Dalam situasi perang ini, Tobala sebagai Jannang (pengawas) untuk orang-orang Bone, melarikan diri dari Makassar, selanjutnya mengumpulkan orang-orang Bone di Bone untuk mengadakan perlawanan terhadap Makassar. Demikian, Gowa memerangi Tobala di Bone, di pimpin oleh Karaeng Sumanna4. Akhirnya pemberontakan Tobala di Bone berhasil di patahkan oleh Gowa. Tobala sendiri di hukum mati pada 11 Oktober 1660. Peristiwa ini disebut Beta Tobala5.

Pemberontakan Tobala berhasil dipatahkan oleh Gowa, tidak berselang lama, yakni dalam bulan Desember tahun 1660, gerakan yang sama muncul di Lisu, Tanete, di pimpin oleh Arung Palakka. Untuk menghentikan aksi Arung Palakka ini, Gowa memerangi Arung Palakka di Lisu, di pimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin. Pada perang ini, perlawanan Arung Palakka dapat dipatahkan, namun Arung Palakka sendiri berhasil melarikan diri ke Campalagi. Di Campalagi ia menyebrang ke Buton.

Beberapa lamanya berada di Buton, Arung Palakka akhirnya meninggalkan Buton menuju Batavia dalam tahun 1663.

Tahun 1667, meletuslah Perang Makassar untuk kedua kalinya (VOC Belanda kini bersama sekutunya melawan GOWA). Di adakanlah perjanjian Bungaya. Perjanjian Bungaya adalah perjanjian perdamaian yang di tandatangani pada 18 November 1667 di Bungaya antara Kerajaan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Kompeni Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman


Suasana Perang Makassar (1660-1669)

Perjanjian Bungaya di tanda-tangani, muncullah VOC sebagai penguasa baru di Sulawesi. Beberapa wilayah yang tadinya adalah merupakan wilayah kekuasan Kerajaan Gowa diambil alih oleh VOC sebagai hak penaklukan (lihat Perjanjian Bungaya poin 20). Arung Palakka sendiri pada tanggal 17 Februari 1668 datang kepada Sultan Hasanuddin untuk berjabat tangan. Peristiwa ini menjadi tanda berakhirnya konflik antar keduanya? 

Tahun 1669, terjadi lagi perang antara VOC Belanda dan sekutunya melawan Kerajaan Gowa, menyebabkan jatuhnya Benteng Somba Opu. Benteng Somba Opu adalah benteng pertahanan sekaligus merupakan tempat tinggal Raja.

Benteng Somba Opu jatuh, Sultan Hasanuddin menyingkir/ memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Gowa ke Benteng Lama, yakni ke Benteng Kale Gowa. Benteng Kale Gowa adalah benteng pertama Kerajaan Gowa, juga merupakan pusat Kerajaan Gowa yang lama sebelum Karaeng Tumapaqrisik Kallongna membangung Somba Opu pada awal abad ke-15.

Dalam bulan Juni tahun 1670, Sultan Hasanuddin meninggal dunia, banyak penguasa-penguasa lokal di wilayah ini tidak mau tunduk pada hukum besar6 yang diberlakukan oleh VOC Belanda. Penguasa-penguasa lokal diluar dari wilayah penguasaan VOC sebagaimana disebutkan sebelumnya, yang tadinya tunduk pada hukum Kerajaan Gowa, mengadakan perlawanan terhadap penguasa baru (VOC) seperti Kerajaan Wajo dan Addatuang Massepe (Sidenreng).

Oleh sebab itu, Tosora sebagai pusat Kerajaan Wajo pada masa itu diperangi oleh Arung Palakka bersama sekutunya pada akhir tahun 1670. Perang ini berakhir dengan kekalahan Wajo. Adapun penguasa Wajo pada masa ini adalah Arung Matoa Wajo To Sengeng.

Dalam tahun 1673, giliran Addatuang Massepe sebagai penguasa Sidenreng di perangi oleh Arung Palakka. Perang ini berakhir setelah kekalahan Sidenreng. Adapun penguasa Sidenreng pada masa ini adalah I Lagau Karaeng Massepe atau yang juga disebut La Soeni. I Lagau Karaeng Massepe dikalahkan, Todani Aroe Bakka Matienrowe ri Salemo dipasang sebagai penguasa di Sidenreng.

Tiga tahun kemudian, tepatnya di tahun 1676, Arung Palakka terlibat konflik dengan Raja Gowa, Sultan Muhammad Ali. Menyebabkan terjadinya perang antara Gowa dan Bone. Perang ini berlangsung dalam bulan Maret 1676. Konflik ini sempat mereda setelah Karaeng Sanrobone (Raja Sanrobone) yang juga merupakan saudara tua dari Raja Gowa bertemu dengan Arung Palakka di kediamannya di Bontoalaq. Namun konflik keduanya kembali memanas pada tahun berikutnya.

Masih di tahun yang sama yakni pada bulan September 1676, Arung Palakka bersama sekutunya memerangi Daeng Mattuju di Luwu. Perang ini berakhir setelah kekalahan Luwu. Datu Luwu (Daeng Mattuju) setelah kekalahannya di buang ke Djakarta oleh Belanda. Posisinya kemudian di ambil alih oleh Daeng Massuro atau yang juga di sebut Sultan Muhammad Muhiddin.

Pada bulan April 1677, pecahlah lagi perang antara Bone dan Gowa. Arung Palakka kembali berhadapan dengan Sultan Muhammad Ali. Pada perang inilah Arung Palakka dikatakan terluka oleh tombak. Perang ini berakhir dengan kekalahan Gowa, Sultan Muhammad Ali di buang ke Djakarta oleh Belanda. Atas peristiwa ini, Karaeng Sanrobone di nobatkan menjadi Raja Gowa menggantikan Sultan Muhammad Ali yang di buang ke Djakarta. Sultan Muhammad Ali juga disebut Tumatea ri Djakarta (yang meninggal di Djakarta).

Karaeng Sanrobone di lantik menjadi Raja Gowa (1677), ia di gelar Sultan Abdul Jalil. Dimasa pemerintahan Sultan Abdul Jalil inilah, Gowa dan Bone bersatu menjalin kerjasama demi terciptanya keamanan wilayah ini.

Dalam upayanya untuk menjaga hubungan ini supaya tetap harmonis dimasa yang akan datang demi terciptanya keamanan dan ketentraman wilayah ini, kedua Raja (Arung Palakka dan Sultan Abdul Jalil) bersepakat untuk mengikat Gowa dengan Bone dalam sebuah pernikahan. Di nikahkanlah putrinya yang bernama Maryam Karaeng Pattukangan dengan ponakan Arung Palakka yang bernama Lapatau. Keduanya menikah pada 4 April 1687. Lapatau inilah yang kelak menjadi pewaris tahta kerajaan Bone setelah Arung Palakka meninggal. Dari pernikahan mereka dikaruniai beberapa orang anak, diantaranya : To Sappewali Karaeng Anak Moncong; Karaeng Katangka di sebut juga La Padangsajati; dan Karaeng Bisei atau La Panaungi Topawawoi.

Arung Palakka meninggal (1696), Lapatau menggantikannya sebagai Raja Bone bergelar Sultan Idris Azimuddin.

Belum lama Lapatau berkuasa, terjadi konflik internal di Soppeng antara We Adda dengan Toesang. We Adda di keluarkan oleh orang-orang Soppeng sebagai Datu Soppeng, selanjutnya mengangkat Toesang sebagai penggantinya. Oleh karenanya Raja Bone (Lapatau) menyerang Soppeng. Dalam perang ini Lapatau berhadapan dengan Toesang. Perang ini meletus pada bulan Oktober 1696. Perang ini berakhir dengan kekalahan Toesang.

Tahun 1709, Raja Gowa Sultan Abdul Jalil meninggal dunia, yang menggantikannya ialah cucunya yang bernama To Sappewali, di sebut juga Karaeng Anak Moncong.

To Sappewali di lantik menjadi Raja Gowa, bergelar Sultan Ismail. Namun tak cukup satu tahun ia memerintah, pecah perang lagi antara Gowa dengan Bone, terjadi konflik antara ayah dengan anak. Perang ini terjadi pada bulan Juli tahun 1710. Dalam perang inilah, Sultan Ismail dikatakan terkena sumpitan pada bagian dadanya. Konflik antar ayah dan anak ini berlangsung cukup lama yakni lebih setahun lamanya. Konflik ini baru berakhir setelah kedua Raja (Raja Bone dan Raja Gowa) di pertemukan oleh Belanda pada tanggal 2 September 1711. Dalam pertemuan tersebut, kedua Raja mencapai kesepakatan untuk mengakhiri konflik. Tahun 1712, Sultan Ismail di keluarkan sebagai Raja Gowa, selanjutnya diangkatlah Sultan Sirajuddin sebagai Raja Gowa yang baru.

Sultan Idris Azimuddin (Lapatau) mangkat (1714), Terjadi persaingan diantara putra-putrinya. Mula-mula, Batari Toja7 (Datu ri Citta) diangkat sebagai Raja Bone menggantikan Sultan Idris Azimuddin. Karena mendapat tekanan dari Karaeng Katangka (La Padang Sajati), yang pada saat itu menjabat sebagai Datu Soppeng, maka dalam bulan Agustus 1715, Batari Toja menyerahkan tahtanya kepada Karaeng Katangka (La Padang Sajati), ia pun kembali ke Citta sebagai Datu Citta. Tahun 1720, La Padang Sajati dikeluarkan sebagai Raja Bone, selanjutnya digantikan oleh To Sappewali Karaeng Anak Moncong sebagai Raja Bone yang baru. Namun dalam bulan Januari tahun 1724, To Sappewali pun di lengserkan dari tahtanya sebagai Raja Bone, dan digantikan oleh Karaeng Bisei (La Panaungi Topawawoi). Namun di bulan Juni tahun yang sama (1724), La Panaungi Topawawoi Karaeng Bisei pun mengalami nasib yang sama, diturunkan dari tahtanya. Ia hanya berkuasa sekitar 5 bulan lamanya. Selanjutnya Batari Toja menjadi Raja Bone untuk kedua kalinya.

Tahun 1736, Bone terlibat konflik dengan orang-orang Wajo. Pecahlah perang di Paneki. Pada perang ini, Wajo di pimpin oleh Arung Sengkang atau Lamaddukelleng. Adapun Raja Bone pada saat ini adalah Batari Toja. Perang ini berakhir dengan kemenangan orang-orang Wajo.

Dalam bulan Mei tahun 1737, Raja Bone (Batari Toja) digulingkan dari tahtanya. Danra Datu8 kemudian diangkat menjadi Raja Bone. Namun tidak berapa lama berkuasa, Karaeng Agang Nionjok9 mengambil alih Samparajaya di Bone (Samparaja = Bendera Kebesaran Bone) dalam bulan Januari 1738. Demikian, ia menyatakan dirinya sebagai Penguasa Bone.

Pada Tahun 1739 terjadi konflik antara Sultan Abdul Khair dengan Karaeng Bontolangkasa10 di Gowa. Sultan Abdul Khair adalah cucu dari Raja Gowa sebelumnya (Sultan Sirajuddin). Diangkat menjadi Patimatarang (pangeran mahkota) dalam umur 8 tahun. Dilantik sebagai raja Gowa dalam usia 9 tahun. Adapun Karaeng Bontolangkasa adalah juga merupakan salah satu pangeran Gowa, pun merasa berhak atas tahta di Gowa. Sultan Sirajuddin meninggal (1739), Karaeng Bontolangkasa melakukan aksi kudeta atas Raja. Dalam melakukan aksinya, Karaeng Bontolangkasa di dukung oleh orang-orang Wajo yang dipimpin oleh Arung Sengkang La Maddukkelleng. Sedangkan Sultan Abdul Khair di dampingi oleh Karaeng Majannang11. Pada mulanya Karaeng Bontolangkasa berhasil menyingkirkan Sultan Abdul Khair dari istananya di Gowa, ia pun selanjutnya di angkat menjadi Raja Gowa pada tanggal 10 April 1739. Namun Sultan Abdul Khair berhasil menguasai Gowa dan mengambil alih kembali tahta Kerajaan Gowa dalam bulan Juli 1739. Atas kekalahannya ini, Karaeng Bontolangkasa bersama sekutunya La Maddukkelleng Arung Matowa Wajo pergi meninggalkan Gowa untuk selamanya.

Di akhir abad ke-18, konflik besar dan berkepanjangan terjadi di Sulawesi Selatan. Kudeta atas Raja Gowa kembali terjadi pada bulan Juni tahun 1777. Gowa pada masa ini di bawah pemerintahan Sultan Zainuddin. Adapun pemimpin gerakan ini adalah seorang yang bernama Sangkilan. Konflik ini melibatkan beberapa daerah dan elit lokal di Sulawesi Selatan, juga berlangsung selama bertahun-tahun lamanya. Gerakan ini bermula dalam tahun 1776, dan baru berakhir (keadaan dapat terkendali sepenuhnya) dimasa pemerintahan Sultan Abdul Kadir Mohammad Aidid (1826-1893). Sangkilan sendiri, meninggal dalam tahun 1785. Sultan Zainuddin meninggal pada 15 September 1778, kurang lebih setahun setelah terjadinya Kudeta. Sultan Abdul Hadi, sebagai pengganti Sultan Zainuddin dilantik pada tahun 1781. Sultan Abdul Hadi dilantik sebagai Raja Gowa artinya pemerintahan kerajaan Gowa kembali berjalan, namun tidak berarti konflik ini berakhir. Konflik ini tetap hidup bahkan membesar di awal abad ke-19, dipimpin oleh Karaengta Data12. Karaengta Data sendiri adalah anak dari Sangkilang.

Demikianlah sekelumit konflik-konflit antar elite politik dalam sejarah Sulawesi Selatan dalam Abad 17 dan 18. Dan tentunya bukan hanya konflik-konflik ini saja yang terjadi, namun konflik-konflik tersebut berskala kecil bahkan dapat dikategorikan tidak berarti. Selain itu, beberapa perang yang terjadi dalam abad-abad ini, juga penulis tidak tuliskan, berhubung karena perang tersebut lebih bersifat ekspansi sebuah kerajaan terhadap kerajaan/daerah lainnya, selain itu karena salah satu pihak dalam perang tidak dikenal tokohnya. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin @dp


Sultan Abdul Kadir Mohammad Aidid
Tumenanga ri Kakuasanna
Sultan Gowa (1826-1893)


Penulis : Daeng Palallo

Catatan kaki : 
*1) Tumanurunga di Gowa, mempunyai maksud Raja Gowa Pertama.
*2) Tumanurung berarti orang yang berasal dari kayangan.
*3) Benteng Panakkukang adalah salah satu benteng pertahanan Kerajaan Gowa di Makassar.
*4Karaeng Sumanna adalah Tumakbicara Butta di Gowa (Mangkubumi Kerajaan Gowa).
*5) Beta Tobala, artinya kekalahan Tobala.
*6) Hukum besar mempunyai maksud aturan-aturan yang di buat oleh VOC.
*7) Batari Toja adalah anak dari La Patau Sultan Idris Azimuddin dari istrinya yang disebut Opu Larompong.
*8) Danra Datu adalah anak dari Raja Tallo Sultan Syafiuddin dengan Amira (Arung Palakka)
*9) Karaeng Agang Nionjok mempunyai nama pribadi La Tenrioddang.
*10) Karaeng Bontolangkasa mempunyai nama pribadi I Mappaseppeq Daeng Mamaro.
*11) Karaeng Majannang adalah Tumakbicara Butta di Gowa (Mangkubumi Kerajaan Gowa).
*12) Karaengta Data bernama Abu Bakar.

Daftar Pustaka :

-- Lontara Bilang Gowa Tallo

-- Lontara Patturioloang Gowa

-- Surat Raja Bone, La Patau Sultan Idris Azimuddin (berkuasa 1696-1714) dan Sira Daeng Talele Karaeng Ballajawa kepada Pemerintah Agung, 1697.

-- Tideman. J, De Batara Gowa op Zuid Celebes, Takalar, 1907

Terima Kasih sudah membaca, jika artikel ini bermanfaat, silahkan di Share ke orang-orang terdekat. Like juga Fanpage kami untuk mengetahui informasi lainnya @makassarpunyacerita 


Video Pilihan 



Comments

  1. Replies
    1. Terima kasih atas apresiasinya.. dukung kami untuk dapat terus berkarya. dengan cara #mengklik atau mencentang pilihan pada kolom reaksi. dan #follow blog ini.

      Delete
  2. Cukup menarik artikel ini sangat bermanfaat...

    ReplyDelete
  3. Menambah pengetahuan akan sejarah kerajaan kerajaan di sulawesi selatan

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Lirik dan Terjemahan Lagu Tea Tonja

LIRIK DAN TERJEMAHAN LAGU PANGNGUKRANGI

Lirik dan Terjemahan Lagu Julei ri Kau