Orang Makassar di Prancis : Sejarah Yang Terlupakan
Kisah
ini diambil dari catatan Claude de Forbin seorang ksatria Prancis, yang dikirim
ke Siam (sekarang Thailand) oleh Raja Louis XIV, dengan misi yang amat ambisius
dalam hal politik, agama, ilmu, pengetahuan dan ekonomi.
Claude de Forbin |
Claude de Forbin adalah perwira dan
penulis naskah yang sekaligus menjadi pelaku dan saksi hidup dari satu
“tragedi” yang melibatkan sekumpulan orang-orang Makassar yang saat itu tinggal
di Ayuthaya atau Kerajaan Siam.
Kisah Yang Luar Biasa, Awal Cerita
Kisah ini bermula di abad 17, tepatnya di tahun
1674, sebanyak kira-kira 250 orang Makassar (laki-laki, perempuan dan
anak-anak) berlayar meninggalkan tanah Gowa dan tiba di Ayuthaya dan diberikan
hak dan membangun komunitas perkampungan bersebelahan dengan orang-orang Melayu
yang sudah lebih dulu menetap.
Rombongan ini dipimpin oleh seorang
Pangeran Makassar bernama Daeng Mangalle, yang setelah perjanjian Bungaya
dilangsungkan pergi ke Ayuthaya dan meminta suaka kepada Raja Ayuthaya.
Ayuthaya oleh orang eropa dikenal sebagai Kerajaan Siam. Permintaan suaka
tersebut dikabulkan oleh Raja Narai. Bukan hanya diberi suaka, Daeng Mangalle
(Lidah Perancis menyebutnya Daen Ma-Alee) beserta para pengikutnya diberikan
tempat di ibukota raja yang kelak dikenal sebagai Makkasan.
Makkasan atau Kampung Makassar di Thailand |
Akan tetapi keadaan yang damai dan harmonis di Siam waktu itu tidak
berlangsung lama, karena seringnya terjadi intrik dan perebutan kekuasan dalam
lingkungan keluarga dan kerabat istana. Tidak terkecuali Phra Narai, Raja dari
kerajaan Ayuthaya dulunya juga adalah seorang yang merebut kekuasaan dengan
cara kekerasan dan berdarah, sehingga ia sadar betul bahwa kekuasaanya tidak
berakar dan tidak kuat dukungannya sehingga ia akan gampang pula digulingkan,
karena itulah ia mempercayakan pertahanan kerajaannya pada serdadu Prancis yang
kala itu sedang berada di Siam atas perintah Raja Prancis. Serdadu Prancis
dipimpin oleh Claude de Forbin dengan 6 kapal dan satu detasemen militer yang
beranggotakan 636 orang.
Situasi Kerajaan Siam pada saat itu memang sedang kacau, legitimasi dari
Raja Phra Narai sedang terancam kudeta dan pemberontakan. Termasuk beredarnya
rumor tentang adanya "persekongkolan" dari bangsa imigran Melayu
Muslim dengan pihak oposisi yang ingin mengkudeta sang Raja, oleh karena Raja dianggap telah memberikan kepercayaan yang
sangat tinggi pada orang asing yaitu Prancis yang beragama Katolik. Pihak ini
takut akan penyebaran agama Katolik yang dijalankan oleh Paris yang bisa saja mempengaruhi
Raja untuk memilih agama ini sebagai agamanya.
Daeng Mangalle diduga terlibat dalam konspirasi ini
bersama orang Melayu, Campa dan orang Islam lain di Ayuthaya, yang berencana
menyerang istana kerajaan, juga membunuh raja Siam Phra Narai. Namun konspirasi ini tercium oleh sang Raja, sehingga
dengan cepat Phra Narai memperkuat pertahanan istananya dengan menempatkan
pasukan Prancis tersebut serta meminta dukungan dari orang asing lainnya.
Daeng Mangalle menolak meminta pengampunan dari Raja
dan menyangkal keterlibatannya dalam persekongkolan tersebut. Ia juga
menambahkan bahwa dengan gelarnya sebagai Pangeran Makassar, ia tidak mungkin
bertindak sebagai pengadu tapi lebih suka bertempur dengan teman-teman setanah
airnya, terbunuh secara terhormat dan membawa mati rahasia yang boleh jadi dia
tahu mengenai komplotan itu. Daeng Mangalle berujar kepada Raja : "Mengenai orang yang telah menghadap
Paduka, saya harus katakan bahwa saya tidak mempercayainya sedikitpun, karena
sekarang ini Perdana Menteri ialah orang Prancis, dan antara saya dan dia ada
saling benci dengan alasan perbedaan agama".
Akibatnya selama satu bulan, wilayah Kampung Makassar, dikepung oleh
pasukan Siam, tetapi Raja mulai kehilangan kesabaran dan akhirnya memutuskan
menggunakan kekuatan Militer untuk memerangi orang-orang Makassar.
Karena
menolak, akhirnya Raja memerintahkan untuk memblokir dua tempat keberangkatan
perahu Makassar yang berniat meninggalkan Siam untuk mengumpulkan
kembali awak kapalnya.
Forbin yang memimpin garnisun Prancis di Benteng Bangkok menerima perintah
Raja. Dalam menjalankan tugas ini, Forbin dengan "berpura pura menggeledah
kapal dengan alasan keadaan darurat yang melanda negara dan dengan dalih
mencari orang yang dianggap buronan Siam, melucuti dan menghentikan semua awak kapal,
menurunkan mereka ke darat, membawa ke benteng dan memenjarakan mereka disana. Seuntai
rantai yang direntangkan melintasi sungai mengharuskan satu delegasi yang
terdiri dari enam orang Makassar datang bermusyawarah dengan prajurit Prancis
tapi mereka menolak keras 'keris' mereka dilucuti dan disita.
Ilustrasi Perkelahian Enam Orang Delegasi Makassar |
Seorang perwira tua Portugis yang bergabung dalam pasukan Prancis
mengingatkan Forbin, "Orang-orang
itu tidak dapat ditundukkan, oleh karena itu kita harus membunuh mereka untuk
menguasai mereka. Terus terang saja, jika anda sampai ketahuan ingin menangkap
kapten yang berada di dalam anjungan itu, dia dan sedikit orang yang bersamanya
akan membunuh kita semuanya dan tidak membiarkan seorang pun hidup."
Forbin mengira ia cukup dikawal oleh dengan sepuluh prajurit Siam yang
bersenjatakan tombak dan sepuluh prajurit lainnya dengan bedil sudah dapat memeriksa
enam orang Makassar yang hanya bersenjatakan keris.
"Saya memerintahkan seorang pejabat
Siam untuk pergi menyampaikan kepada kapten Makassar bahwa saya merasa tersiksa
karena dapat perintah untuk menangkapnya, tetapi ia akan dapat perlakuan baik
dari saya. Saat kata pertama terlontar dari mulut pejabat Siam, sambil mencampakkan
topi kain mereka ke tanah, keenam orang Makasssar itu menghunus 'keris' dan
menyerbu membabi-buta seperti kesurupan, membunuh seketika itu pejabat Siam dan
enam orang rekannya yang ada dalam paviliun."
Forbin sendiri lolos dari maut. Empat orang Makassar terbunuh, sementara
dua lainnya terluka, adapun kapten kapal Makassar berhasil lolos.
"Tuan Beauregard, kapten berkebangsaan Prancis,
ketika melihat bahwa kapten Makassar itu tertembak beberapa peluru dan sekarat,
melarang sersannya untuk membunuhnya. Ia mendekati kapten itu dan merampas
'keris' nya. Tapi Beauregard menarik sarungnya, bukan gagangnya dan kapten
Makassar yang nyaris mati itu masih punya cukup kekuatan menghunus keris dan
merobek perutnya".
Forbin memanggil bala bantuan pasukan yang terdiri dari enam puluh orang
Portugis yang dipimpin oleh seorang kapten berkebangsaan Inggris yang tanpa
menunggu perintah Forbin membawa pasukannya maju melawan orang-orang Makassar.
Segera saja ke empat
puluh tujuh orang Makassar yang sampai saat itu jongkok dengan cara mereka,
tiba-tiba bangkit dan dengan melingkari tangan kiri mereka dengan sejenis kain
selempang yang biasanya mereka lilitkan dipinggang atau dikepala, mereka
menerjang orang Portugis dengan keris di tangan, kepala menunduk dan dengan kekuatan
besar menikam dan mencabik-cabik orang-orang Portugis, nyaris sebelum kami sadar
bahwa mereka sudah diserang. Dari situ mereka mendesak kearah pasukan yang saya
pimpin tanpa kehabisan nafas, meski saya memiliki seribu lebih prajurit
bersenjatakan tombak dan bedil. Orang-orang mengerikan itu menyerang pasukan
saya sedemikian rupa sehingga semuanya terjungkal. Orang-orang Makassar itu
bergerak dengan menginjaki perut mereka dan membunuh semua yang dapat mereka
jangkau, benar-benar pembantaian yang mengerikan. Dalam keadaan yang kalang
kabut itu, mereka mendesak kami hingga ke kaki tembok benteng baru. Enam
diantara mereka, yang paling nekat, mengejar pasukan yang kabur dan masuk
kedalam teluk buatan yang menghadap sungai dekat tembok benteng kecil persegi
empat. Mereka melewati benteng di sisi lain dan menjadikan semua tempat itu
pembantaian yang mengerikan, dengan membunuh tanpa memandang usia dan jenis
kelamin, wanita, anak-anak dan semua yang ada di hadapan mereka.
Sementara itu orang-orang
Makassar yang merupakan bagian terbesar pasukan mereka kembali ke kapal untuk
mencari tombak dan perisai sekaligus menyalakan api dikapal untuk menunjukkan
ketetapan hati mereka untuk bertempur. Mereka menyusuri tepian sungai,
melempari rumah-rumah dengan api, menebarkan teror dimana-mana. Enam orang
Makassar menyerang Pagoda dan membunuh semua biarawan di sana, lalu bersembunyi
di balik rerumputan tinggi, dimana mereka dihalau dan dirubuhkan dengan bedil.
Lukisan Pagoda Siam |
Dalam pertempuran itu
saja, pasukan kami (Eropa-Siam) telah kehilangan 366 orang, belum lagi korban
penduduk sipil, sedangkan korban di pihak Makassar hanya tujuh belas orang. Selama
tiga minggu orang-orang Makassar itu terkepung di tengah hutan yang digenangi
air pasang dan hanya keluar sebentar untuk mencari makanan berupa sayuran dan
buah-buahan di kebun disekitarnya.
Forbin berpikir bahwa
saatnya telah tiba memberikan pukulan terakhir, karena mereka mustahil dapat
merawat luka-luka mereka dan tentu sangat lemah. Hanya tersisa tujuh belas
orang yang selamat dari orang Makassar.
Forbin mengepung hutan
dengan dua ribu prajurit Siam. Ia mengusulkan kepada orang Makassar untuk
menyerah, tetapi mereka melompat kedalam air dengan keris di mulut, mereka
berenang untuk menyerang.
Orang-orang Siam
mendapatkan keberanian dari pidato dan contoh yang dilakukan oleh Forbin,
melepaskan tembakan ke arah orang-orang Makassar, sehingga tak ada satu pun
yang selamat.
Sementara itu, 23 September 1686, di Ayuthaya tiga puluh hingga empat puluh
orang Makassar yang sudah jadi penduduk setempat diundang ke Istana untuk
bermusyawarah tapi sekali lagi menolak menanggalkan keris mereka dan senjata
lain sebelum menghadap raja. Dengan mudah menduga niat pihak kerajaan,
mereka pun menolak dilucuti sebelum pembicaraan dimulai. Kapten mereka,
Daeng Mangalle tetap saja pada pendiriannya yang merasa tidak bersalah, untuk
itu tidak perlu meminta pengampunan dari raja. Selain itu, juga karena mereka sebelumnya telah diberi tahu mengenai komplotan itu, dan mereka dikatakan tidak mengambil
bagian secara langsung di dalamnya, hanya saja dituduh bersalah karena Daeng
Mangalle tidak memberi tahu raja. Kehormatan mencegahnya untuk bertindak
sebagai pengadu dan sebagai mata-mata terhadap teman-temannya seagama.
Di malam 23 September, Raja memerintahkan beberapa ribu prajuritnya
mengepung 'Kampung Makassar' di Ayuthaya, diperkuat dengan dua kapal perang,
dua puluh dua kapal dayung dan enam puluh kapal kecil untuk menyeberangi sungai.
Melihat persiapan itu, orang-orang Makassar paham bahwa serangan sudah
dimulai. Semua tahu tidak ada kemungkinan lain untuk mereka kecuali bertempur
sampai mati dan banyak diantara meraka membunuh isteri dan anak-anak mereka
sendiri agar terhindar dari penjara dan perbudakan. Tanda serangan diberikan
jam 4.30. Serangan pertama gagal dan sebagian besar penyerang tewas. Kapten
Inggris, Coates yang memimpin kapal perang Siam, setelah melemparkan bola-bola
api untuk membakar rumah-rumah, mengira telah berhasil menaklukkan semua
perlawanan dan mencoba mendarat dengan sekitar selusin orang Inggris dan
seorang perwira Prancis. Orang-orang Makasssar menggali parit untuk
perlindungan dan keluar dari situ untuk melancarkan serangan
balasan. Coates mendapat hantaman di kepalanya hingga terlempar ke air dan
karena berat baju zirahnya, ia tenggelam. Sementara itu perwira Prancis tadi
selamat karena bisa berenang. Bala bantuan dari orang-orang Makassar datang dan
bergerombol diantara pepohonan bambu sebelum keluar lagi untuk menggempur
habis-habisan di bawah pengaruh, tulis Pastor Tachard , gumpalan-gumpalan candu
"yang membuat mereka mengamuk dan
melenyapkan semua pikiran dan keinginan lain kecuali membunuh atau
dibunuh". Pasukan Siam sekali lagi harus mundur dan menunggu bantuan
baru dari empat ratus orang. Pasukan Siam berjumlah tiga ribu prajurit yang
didahului dengan delapan ratus 'mousquetaires' (prajurit bersenjatakan
bedil).
Forbin menjelaskan suasana serangan dan taktik yang diterapkan untuk gerak
maju pasukan-pasukan itu : Karena wilayah
itu terendam sehingga orang terpaksa berjalan didalam air setinggi separoh
tungkai, jenderal Siam disuruh membuat jaringan kisi-kisi yang terdiri dari
bilah-bilah kayu yang masing-masing dipasangi tiga paku sebagai ranjau.
Peralatan ini yang bergerak didepan pasukan, dibenamkan kedalam air. Orang
Makassar seperti biasanya maju menyerang dengan kepala tertunduk dan tanpa
melihat dimana kaki berpijak, lantas sebagian besar terjebak hingga tidak bisa
maju maupun mundur. Kami lalu membunuhi banyak diantara mereka dalam
keadaan berdiri dengan berondongan bedil. Kami terus menghalau musuh dari satu pemukiman
ke pemukiman lainnya, setelah membakarnya terlebih dahulu. Kami mendengar
jerit mengerikan para wanita yang terbakar dalam rumah mereka. Mengenai yang
pria, mereka baru keluar pada saat terakhir dan menyerang membabi-buta dengan
senjata tajam guna bertempur sampai mati. Putra sulung Daeng Mangalle yang
masih berusia 14 tahun melihat ayahnya terkapar di tanah, melemparkan
senjatanya ke kaki menteri yang membiarkan anak itu hidup. Akhirnya
pertempuran itu berakhir jam tiga siang dengan menyerahnya 22 orang Makassar
dan 33 mayat prajurit mereka dikumpulkan dari medan pertempuran. Daeng Mangalle
sendiri terluka dengan lima tusukan tombak dan setelah tangannya tertembak
langsung menerjang menteri Siam dan membunuh seorang Inggris. Selama dua
atau tiga hari, kami memburu mereka yang masih hidup. Orang-orang Siam tidak
memberi ampun pada tawanan mereka. Kebanyakan mereka disiksa dengan kejam :
pasak ditancapkan menembus kuku, tangan dibakar, pelipis dijepit dengan dua
papan, sebelum diikat di tiang untuk santapan harimau.
Tachard menambahkan
bahwa orang-orang yang memegang senjata ditangan mereka dipenggal dan kepalanya
dipamerkan di depan rakyat jelata. Beberapa dari mereka dikubur hingga
leher, lalu mati setelah dicemooh dan dihina penonton yang tidak punya belas
kasihan.
Peristiwa dramatis itu membuat penduduk setempat kagum akan tak terperikan
dan gagah berani yang diberikan oleh suatu masyarakat kecil yang terdiri dari
sekitar duaratus orang asal Makassar dan hanya bersenjatakan tombak dan keris berhadapan
dengan tentara yang berjumlah ribuan dengan senjata lebih lengkap (gabungan
pasukan Siam dengan pasukan asing lainnya). Selama pertempuran itu tidak kurang
daripada seribu orang Siam dan tujuh belas orang asing tewas mengenaskan.
Tachard mengabadikan gugurnya Daeng
Mangalle bersama prajurit Makassar dalam sebuah catatannya. Menurut sang pastor
keberanian tentara Makassar hampir-hampir tidak masuk di akal.
Pastor itu menulis, seumur hidupnya, baru pertama kali menyaksikan keberanian
manusia yang dikenal sebagai prajurit Makassar. Saat itu, seorang prajurit
Makassar yang telah membunuh tujuh tentara Perancis, akhirnya berhasil
dilumpuhkan dengan tembakan dan tikaman bayonet bertubi-tubi. Seorang tentara
Perancis menendang-nendang kepala prajurit Makassar yang tengah menghadapi
sekaratul maut itu. Tiba-tiba saja prajurit Makassar itu bangkit lalu membunuh
tentara yang menendang-nendang kepalanya itu, kemudian dia pun mengembuskan
nafasnya yang terakhir. “Tak ada alasan lain yang membuat prajurit itu
mendapatkan kembali kekuatannya, selain karena mempertahankan harga diri, tulis
sang pastor.
Kekaguman Raja Siam terhadap keberanian Daeng Mangalle, menjadikan dua
putranya, yakni Daeng Tulolo dan Daeng Ruru, diampuni Raja Siam. Selanjutnya,
oleh Kepala Kantor dagang Prancis di Kerajaan Siam memutuskan untuk mengirim
keduanya ke Prancis.
Saat itu pelayaran ke Prancis sungguhlah
lama. Keduanya naik kapal Coche pada akhir November 1686, tiba di Brest 15
Agustus 1687 dan barulah berlabuh di Paris pada 10 September.
Sesampainya di Paris, keduanya dibaptis
dalam agama Kristen, mereka mendapatkan nama kehormatan Louis seperti Raja
Prancis. Daeng Ruru bergelar Louis Pierre de Macassar, sementara saudaranya
Daeng Tulolo mendapat gelar Louis Dauphin de Macassar.
Sebagai anak keturunan ningrat, Raja
Prancis Louis XIV tidak hanya merasa wajib untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka, tapi juga harus mengurus pendidikan mereka. Oleh karena itu keduanya
didaftarkan ke kolese jesuit Louis le-Grand untuk mendapat pengajaran bahasa
Prancis terlebih dahulu. Setelah lulus dari kolese jesuit itu, mereka diterima
di sekolah tinggi Clermont yang terkenal. Setelah itu mereka di terima di salah
satu institusi Prancis paling bergengsi yakni di sekolah perwira angkatan laut
Brest. Sekolah angkatan laut Brest merupakan sekolah angkatan laut (marinir)
tertinggi di Prancis, untuk dapat diterima menjadi taruna harus berusia di
bawah 18 tahun dan berasal dari keluarga elit aristokrat di negaranya.
Louis Pierre de Macassar
Karir marinir Daeng Ruru meroket. Dia lulus tercepat dengan menempuh sekolah
selama dua tahun. Pangkatnya letnan muda pada usia 19 tahun, setara letnan di
angkatan darat. Setahun kemudian dianugerahi pangkat letnan angkatan laut,
setara kapten di angkatan darat.
Bantuan keuangan sungguh diperlukan,
lantaran Daeng Ruru tak hanya membutuhkan kecerdasan, tetapi juga uang. Konon
untuk mencapai prestasi gemilang macam itu, orang harus cerdas dan berharta.
Daeng Ruru berhasil karena itu. Tapi anehnya, pada 1706, Louis Pierre Makassar
(Daeng Ruru) tak diajak ikut dalam operasi angkatan laut ketika itu. Ia
mengirim surat keluhan kepada de Pontchartain, menteri kelautan kerajaan.
Protes.
Louis Dauphin de Macassar
Tak seperti kakaknya yang berkarir
melejit, Daeng Tulolo harus menanti 13 tahun lamanya untuk mendapatkan pangkat
letnan muda.
Masa-masa keemasan kedua ningrat itu kian mendekati akhir. Pada 1707, Daeng
Ruru bertugas di sebuah kapal yang menyergap kapal-kapal militer Belanda dan
membantu armada Spanyol untuk memerangi Inggris di Havana. Ironisnya, Pada 19
Mei 1708 Daeng Ruru tewas di depan Havana setelah bertempur Habis-habisan.
Sementara itu, Daeng Tulolo yang karirnya mentok berpangkat letnan muda, sempat bekerja di sebuah kapal India. Ia wafat pada 30 November 1736 dalam usia
62 tahun, ia dibawa ke gereja Carmes di kota itu untuk disemayamkan dengan
dihadiri beberapa perwira angkatan laut. Ia dikubur dalam gereja Louis de
Brest. Jenazahnya hancur ketika terjadi pemboman saat perang dunia II..
Beberapa kolega angkatan laut menghadiri penghormatan terakhir kepada Sang
Louis Dauphin Makassar. Suatu kehormatan, keturunan raja-raja Makassar itu
dimakamkan di tempat terhormat dalam Gereja Saint-Louis de Brest, barat laut
Prancis.
Demikianlah kisah dua bangsawan Makassar yang mengembara hingga ke Prancis. Konon, mereka inilah moyang daripada Napoleon Bonaparte yang terkenal itu. Wallahu A’lam Bishowab. @dp
(Sumber: Bernard Dorleans, Orang Indonesia dan Orang Prancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX)
(Sumber: Bernard Dorleans, Orang Indonesia dan Orang Prancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX)
Napoleon Bonaparte |
DATA PROFIL DAENG MANGALLE
Nama Lengkap : I Yandulu Daeng Mangalle
Tanggal lahir : 01 Juli 1663
Tempat lahir : Gowa, Sulawesi Selatan
Meninggal di : Ayutthaya, 23 September 1686
Kerabat Dekat : Anak laki-laki dari Sultan Hasanuddin (Raja Gowa XVI) dan I Loqmok Tobo dari Majannang, Saudara laki-laki dari I Manindori I Kare Tojeng Karaeng Galesong (lk), I Safiyah I Daeng Rikong (Pr), I Rukiyah I Daeng Mami (pr).
Terima Kasih sudah membaca, jika artikel ini bermanfaat, silahkan di Share ke orang-orang terkedat. Like juga Fanpage kami untuk mengetahui informasi lainnya @makassarpunyacerita ,dan temukan pula kami di Youtube http://bit.ly/2Po04uh
Video Pilihan
Comments
Post a Comment