Mengenal Kerajaan-Kerajaan Tua Makassar Bagian Pertama : Kerajaan BorongloE
Dahulu, menurut tradisi, masyarakat adat BorongloE merupakan
wilayah yang mandiri dan luas. Entri ini terbagi menjadi dua, yakni BorongloE dan Songkolo. Saat itu seorang perempuan memerintah di BorongloE yang disebut Bau’.
Berikut ini, asal muasal dari Bau’
ini : Suatu hari terjadi badai besar yang melanda BorongLoe, disertai dengan
kilatan petir. Ketika semuanya tenang, ditemukanlah di sebuah hutan di sebelah
barat kampung Songkolo sebuah rumah besar berperabot lengkap, yang tiba-tiba
muncul dari tanah, rumah itu terdiri dari tujuh petak ruangan (paqdaserang). Bersamaan dengan
itu muncul pula seorang perempuan muda; yang satu tangannya memegang bendera (yang
diberi nama*); di satu tangannya lagi memegang badik runcing di
kedua sisinya. Sarung badik itu seluruhnya dari emas; cincin di sekelilingnya juga
terbuat dari emas yang menyala setebal kepalan tangan anak-anak; gagangnya juga
terbuat dari emas yang menyala, begitu pula dengan sepatu sarungnya.
Perempuan ini dianggap sebagai
Tumanurung (orang yang turun dari surga) dan dijadikan putri oleh penduduk
setempat. Tempat dia
turun disebut Sokkolia, yang berarti penerima yang beruntung. Dalam
perjalanannya Sokkolia, kemudian berubah menjadi Songkolo.
Empat belas hari setelah
Tumanurunga ini tiba di BorongloE, tiba-tiba ia hamil. Kehamilan ini
berlangsung selama tiga tahun, setelah itu lahir seorang putra (yang diberi
nama*). Saat
dia lahir, diceritakan bahwa tiba-tiba saja rumah sangat terang benderang, walau
tanpa ada lampu yang menyala. Anak dari Tumanurunga ini di gelar oleh ibunya
Gunturu' Mangulapaka atau "guntur abadi".
Gunturu Mangulapaka menikah dengan saudara perempuan Laguruda yakni Kepala Kampung Lassang di Polombangkeng. Dia adalah bibi dari Dampang pertama Lassang, yang menggantikan Laguruda (ayahnya) dalam pemerintahan Lassang. Dari pernikahan Gunturu Mangulapaka ini lahir dua anak laki-laki. Keduanya diberi tempat tinggal untuk menetap; yang tertua menetap di Songkolo, yang termuda di BorongloE, keduanya menyandang gelar Dampang. Saat itu, BorongLoe masih bernama Borong, yang berarti tempat berkumpulnya orang-orang. Belakangan, ketika daerah ini berkembang menjadi besar (luas), ia disebut BorongloE, yang berarti tempat pertemuan yang besar.
Ketika Gunturu Mangulapaka dan
ibunya Bau’ melihat kedua putranya sudah mandiri mengelola Borong dan Songkolo,
ia memutuskan untuk mundur dari dunia. Mereka pun mengumpulkan semua penduduk
Borong dan Songkolo, dan ketika mereka berdua duduk di atas batu besar, mereka
mengatakan kepada orang banyak bahwa mereka ingin meninggalkan dunia ini. Tepat
pada saat itu badai yang dahsyat terjadi, petir menghantam batu tempat keduanya
duduk, Bau’ serta putranya Gunturu Mangulapaka telah menghilang. Oleh karena
itu, tidak satupun dari mereka yang ada kuburannya. Batu tempat Bau’ dan Gunturu
Mangulapaka duduk masih ada di kampung Songkolo sampai sekarang. Di sana telah
dibangun rumah sesaji kecil (saukang), di mana penduduk BorongloE sering datang
untuk mempersembahkan sesajen.
Tempat tinggal dari dua Dampang ini
(putra dari Gunturu Mangulapaka) saat ini adalah Parangbanuwa dan Songkolo.
Makam Dampang BorongloE dahulu ditemukan di Paja Solong, dekat kampung
Parangbanuwa. Sekarang ditumbuhi oleh rerumputan dan tidak dapat lagi
diidentifikasi secara tepat. Situs makam Dampang Songkolo terletak di Sungai Je’ne
Berang. Tidak ada yang tersisa dari itu, tapi tempat yang benar masih bisa
ditunjukkan.
Setelah kematian mereka, kedua
Dampang digantikan oleh masing-masing penerusnya namun tak lagi bergelar
Dampang. Mereka berganti gelar menjadi Kare’. Tidak ada yang diketahui tentang
Kare’ ini kecuali satu, yakni Kare Parappa. Setelah itu gelar untuk penguasa
Songkolo berubah menjadi Gallarrang Songkolo.
Kare Parappa hidup pada masa Raja Gowa, yang disebut Tumenanga ri Papangbatuna. Suatu ketika, atas permintaan Raja Gowa, Kare Parappa bersama Gallarrang Lassang, pergi ke Padang (Sumatera). Dalam perjalanan pulang mereka membawa benih pohon jati dari Padang ke dalam wadah batu yang bisa menyimpan air. Bibit jati ini ditanam di kampung Tambakola dan di BorongLoe. Inilah yang dikatakan sebagai asal muasal kayu jati di wilayah ini. Beberapa waktu kemudian, Kare' Parappa berperan penting dalam perjuangan Raja Gowa Tumenanga ri Papangbatuna di Tambora (Sumbawa). Kare Parappa terbunuh di sini, dan atas permintaan KaraEng Sanrobone, yang dulu sangat dekat dengan Kare Parappa, jenazahnya dimakamkan di Sanrobone. Makam itu ditemukan di pemakaman KaraEng Sanrabone. Badik pusaka peninggalan Tumanurunga ada pada KaraEng Kaballokang di Bontonompo, sebagai keturunan dari KaraEng Sanrobone. Bendera pusaka yang di bawa Tumanurunga telah hilang, dalam perjuangan Kare' Parappa. Bendera ini hilang di curi di Maros.
Menurut tradisi, BorongloE sebelumnya sangat luas. Batas-batasnya adalah sebagai
berikut: Dari sisi utara kampung Sailong (Samata) ke
selatan (kampung Tambungbutta-Pattiro-Songkolo) ke dekat Parangbanuwa (titik
timur kampung Tallang-Tallang-Pallanga) ke Biring-Balang (Limbung) dan
kemudian ke Tamacinna (Limbung). Jalur ini memisahkan Songkolo dan BorongloE.
Di sebelah timur adalah Songkolo, di sebelah barat adalah BorongloE.
Perbatasan BorongloE dilanjutkan dari kampung Sailong ke barat ke Tamalate
(bukit Tinggimae dekat kampung Katangka), lalu ke Pandang-Pandang (Mangasa);
dari sana menyeberangi sungai Je'ne Berang ke kampung Lambengi,
Manyampa (Tetebatu) dan dari sini ke Allak-Takpampang dan Bontorea (Pallanga),
di mana perbatasan mengikuti sungai kecil ke Parang Maklengu, Kunjungmange
(Limbung) dan dari sana ke Selatan membelok ke kampung Pannujuang dan
Tammacinna, di mana perbatasan kemudian membelok ke Barat lagi ke Garaganti dan
Kalasekrena (Bontonompo) dan kemudian ke Timur Palleko dan kampung Mannongkoki
(Polombangkeng).
Perbatasan Songkolo, dimulai dari Tamacinna, membentang ke timur ke kampung Mangalleatau, lalu ke Kulantubengisi (Polombankeng), dari sini ke Komara dan Bissoloro (Malakaji), lalu ke utara ke Tokka, Lata, Bentengrajaya, Kunjung, Bontoparang (Manuju ), dari sini ke barat ke Tona-Tonasa dan ke puncak Gunung Bonglangi, lalu ke Lambatapole, Japing, Bontosunggu dan Sailong, lalu ke timur ke Romangpolong, ujung timur Paccinongang; dari sini ke kampung Tombolo, rawa Bisei dan sisi timur Katangka, dan dari sini ke bukit TinggimaE (kampung Tamalate). (dp)
Catatan :
"Artikel ini diterbitkan/ ditulis ulang tanpa perubahan maksud bahasanya yang asal"
Sumber : Bundel Adat Sulawesi
Penerjemah/Penulis Ulang : Daeng Palallo
Terima Kasih sudah membaca, jika artikel ini bermanfaat, silahkan di Share ke orang-orang terdekat. Like juga Fanpage kami untuk mengetahui informasi lainnya @makassarpunyacerita
Video Pilihan
Comments
Post a Comment