Posts

Sheikh Yusuf of Macassar

Image
Sheikh Yusuf was born at Macassar in 1626. He was also known as Abidin Tadia Tjoessoep. He was of noble birth, a maternal nephew of King Bisei of Goa. He studied in Arabia under the tutelage of several pious teachers. The capture of Macassar by the Dutch, made it impossible for Sheikh Yusuf to return to his native land. Thus, when he left Jiddah in 1664 he did not sail to Goa, but to Banten in Western Java. Sheikh Yusuf was never to see Goa and Macassar again. Sultan Ageng of Banten offered the Sheikh his daughter's hand in marriage, and appointed him Chief Religious Judge and his personal advisor.  In 1680, a revolution headed by Pangeran Haji, Sultan Ageng's son broke out in Banten. This revolution was probably engineered by the Dutch. By 1683 Sultan Ageng had rallied enough support and besieged Pangeran Haji in his fortress at Soerdesoeang. The latter appealed to the Dutch at Batavia for assistance. The Dutch welcomed this opportunity. Sultan Ageng was defeated but

Karaeng Matoaya

Image
Gambar Ilustrasi Nama pribadinya semoga saya tidak terkutuk iMallingkaang. Nama lahirnya (Paddaenganna) adalah Daeng Mannyonri. Gelarnya (Pakkaraenganna) sebelum Ia menjadi Raja Tallo disebut Karaenga ri Kanjilo. Ia mengalahkan Segeri disebut Karaeng Sigeri. Ia menjadi Raja Tallo disebutlah Karaenga ri Tallo. Dialah pula yang digelar Sultan Abdullah Awawul Islam. Gelarnya setelah meninggal disebut Tu-Mamenanga-ri-Agamana (Dia yang meninggal dalam agamanya). Selain itu sebagaimana judul dari artikel ini, beliau digelar pula Karaeng Matoaya (Raja Tua). Karaeng Matoaya adalah anak Raja Tallo ke-IV,  semoga saya tidak terkutuk menyebut nama beliau iMappatakakatana Daeng Paduluq   atau yang digelar Tumenanga ri Makkoayang dari istrinya yang bernama iDaeng ri Pattukangang. Karaeng Matoaya menjadi Raja Tallo ke VI mengantikan Karaeng Baineya yang tiada lain adalah saudaranya sendiri. Dimasa beliau inilah, Islam menjadi agama resmi di Kerajaan Gowa Tallo. Ia masuk Islam pada malam juma

Kitab La Galigo Tidaklah Lebih Tua dari Aksara (Huruf) Lontara

Image
Kitab La Galigo Tidaklah Lebih Tua dari Aksara (Huruf) Lontara Oleh : Daeng Palallo Kitab dan Aksara ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Kitab La Galigo atau biasa juga disebut Kitab Galigo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis Makassar di Sulawesi Selatan dalam bentuk puisi. Ditulis dalam huruf lontara. Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima.Epik ini panjangnya melebihi kitab Mahabharata dari India, bahkan ada yang menduga bahwa epik ini lebih tua dari Kitab Mahabarata yang dari India itu. Aksara Lontara adalah aksara yang dipakai dalam Kitab La Galigo.  Adalah Daeng Pamatte yang dikenal sebagai pencipta aksara lontara, sebagaimana disebutkan dalam Lontara Gowa (catatan harian kerajaan), berikut kutipannya : (…iapa anne karaeng uru apparek rapang bicara, timu-timu ri bunduka. Sabannarakna minne Karaenga nikana Daeng Pamatte. la sabannarak, la Tumailalang, iatommi Daeng Pamatte ampareki lontarak M

Macan Lambaraqna Gowa : I Mappatakakatana Daeng Padulu Tumenanga riMakkoayang

Image
Macan Lambaraqna Gowa (Harimau Liar dari Gowa). Adalah sebuah gelar, sama dengan gelar-gelar lainnya seperti Macan Keboka ri Tallo, Macan Leqlenga ri Katangka, Macan Ejayya ri Sanrobone, Macan Beru Bakkaka ri Luwu. Adalah, semoga saya tidak terkutuk, nama pribadinya iMappatakakatana. Nama lahirnya [Paddaenganna] adalah Daeng Padulu, gelarnya sebelumnya ia menjadi penguasa di Tallo disebut Karaeng Pattingalloang, gelarnya setelah meninggal disebut Tumenanga riMakkoayang. Beliaulah yang digelar sebagai Macan Lambaraqna Gowa, Raja Tallo IV, yang tak lain adalah Ayah dari Karaeng Matoaya  Sultan Abdullah Awwawul Islam . Tumenanga riMakkoayang adalah anak dari Karaeng Tunipasuru (Raja Tallo III), Nama pribadinya, semoga saya tidak terkutuk, semoga saya tidak hancur, adalah iMangayoangberang Karaeng Pasi. Ibundanya adalah Tumammalianga ri Tallo, nama pribadinya, semoga saya tidak terkutuk, semoga saya tidak hancur adalah iPasilemba, putri Karaeng Loe riMarusu. Pada usia dua puluh

Karaeng Tumapakrisi Kallongna

Image
Karaeng Tunijallok ri Pasukkiq meninggal, Karaeng Tumapakrisi Kallongna menggantikannya sebagai Raja Gowa. Dialah yang memperistrikan anak dari Karaeng Tunilabu ri Suriwa. Maka lahirlah Karaeng Tunipalangga; empat bersaudara, Karaeng Tunibatta; Karaenga ri Bone; Karaeng ri Somba Opu. Memperistrikan anak Karaeng Jamarang. Lahirlah Karaeng Jonggoa, dan seorang perempuan yang bernama I Kawateng.  Karaeng Tumapakrisi Kallongna, Dialah peletak dasar pemerintahan Kerajaan Gowa secara modern, dia juga yang mengantar Gowa sebagai kerajaan maritim yang kuat. Raja inilah yang mula-mula membuat peraturan, hukum dalam perang. Di masa pemerintahannya ini pulalah Daeng Pamatte selaku Tumailalang merangkap Syahbandar menciptakan aksara Lontara. Raja inilah yang menaklukkan Garassi, Katingang, Parigi, Siang, Sidenreng, Lembangan. Yang mengambil saqbu kati dari Bulukumba, Selayar [saqbu kati = bea perang]. Yang menaklukkan Panaikang, Mandalle, Campaga. Selain menaklukkan beberapa daerah

Karaeng Tunipallangga

Image
Karaeng Tumapakrisi Kallongna meninggal, Karaeng Tunipallangga menggantikannya sebagai Raja Gowa. Nama pribadinya, semoga saya tidak terkutuk iManriyogau, nama lahirnya (paqdaenganna) disebut Daeng Bonto, gelarnya sebelum ia menjadi penguasa/raja adalah Karaeng Lakiyung. Tiga puluh enam tahun umurnya ketika ia dilantik menjadi Raja Gowa. Delapan belas tahun lamanya ia memerintah [1547-1565], kemudian meninggal. Karaeng ini disebut sebagai seorang yang pemberani (tau barani dudu), seorang yang terkenal (tukapatiyangi) dan seorang yang bijaksana (tugannaqakai). Dialah yang mengalahkan Bajeng, Lengkeseq, orang Polongbangkeng semuanya. Dialah Raja yang pertama berperang dengan orang Bugis di Bampangang. Sehingga menguasai Lamuru dan semua daerah dekat Walanaya.      Dialah Raja yang menaklukkan Lamuru, Soppeng, Cenrana, Salumekko, Cina, Kacci, Patukung, Kalubimbing, Bulo-Bulo, Kajang, Lamatti. Ditemani naik orang Maros, ia menaklukkan Samanggi, Cenrana, Bengo, Saumata, Camba. D

Sebuah Catatan Kecil Tentang Suku Makassar

Image
Takunjunga' Bangunturu', Nakugunciri Gulingku, Kualleanna Tallanga Na Toalia [Tidak begitu saja aku ikut angin buritan, dan aku putar kemudiku, lebih baik aku pilih tenggelam dari pada balik haluan]. Le'ba Kusoronna Biseangku, Kucampa'na Sombalakku, Tamammelokka Punna Teai Labuang [Ketika perahuku kudorong, Ketika layarku kupasang, Aku takkan menggulungnya kalau bukan labuhan]. Demikian falsafah Hidup Orang Makassar. Dari falsafah ini sudah dapat dilihat betapa kehidupan orang-orang Makassar begitu dekat bahkan sangat dekat dengan yang namanya laut. Maka tak heran jika orang-orang Makassar dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung.  Banyak bukti yang menunjukkan kepiawaian orang Makassar menguasai laut dengan layar sejak dahulu kala : Kisah  Petualangan Karaeng Loe ri Se’ro di Tanah Jawa ;  Kisah  Petualangan Karaeng Tunilabu ri Suriwa di Tanah Semenanjung ;  Kisah  Petualangan Karaeng Tunipasuru keliling Nusantara ;  Kisah  Petualangan Karaeng Tunijallo d